RED MY CLOUDY
PLEASE, USE YOUR BRAIN IF YOU GOT SOMETHING

B U N D A {Sebuah Cerpen}

Labels:
Suara lenkingan roda kereta yang bergesekan dengan relnya memenuhi suasana siang di stasiun Gambir. Aku duduk di samping jendela pada salah satu gerbang. Terdengar suaara ketukan dari luar jedela tempatku duduk. Tapi,suara ketukan itu nggak membuatku menoleh!! Biarlah, aku sedang ingin bergelut dengan perasaan yang berkecamuk di dalam dada.
Lalu, ketukan itu semakin keras…
”Mas, ada yang manggil tuh,” ujar lelaki yang duduk di depanku sambil menunjuk ke arah jendela.
”biarin aja,” ujarku pelan sambil mengulas senyum kecil.
Aku hanya menoleh sedikit. Kulihat kakaku memintaku turun dari kereta. Tapi, aku udah memeantapkan diri untuk mengabaikannya! Untung kereta segera berangkat. Kalo nggak, tetntu bang doni akn naik ke kereta dan menyeretku turun dengan cara yang seperti biasa: agak kasar.
Suara lengkingan roda kereta yang bergesakan dengan relnya semakin kencang. Kereta pun bergerak semakin kencang. Kutolehkan kepalaku sakali lagi keluar jendela sekedar ingin melihat ekspresi muka Bang Doni. Terilihat jelas emosi yang menguasainya saat itu. Antara kaget bercampur kesal dengan sikap yang ku ambil.
Kereta belum terlalu jauh dari stasiun ketika ponselku berbunyi, tanda ada SMS yang masuk. Daribang doni!!!
"nggak seharusnya kamu melakukan hal itu!"
pikiranku kembali mundur ke beberapa jam yang lalu.


”Udah dong,bunda! Nggak usah nyuruh aku bawa macem-macem lagi. Disana juga banyak barang kok! Gilang nggak bohong!” ujarku pada Bunda.
”Tapi Bunda tau kamu gak punya guling di sana,” jawab Bunda.
”nggak ada guling juga nggak apa-apa. Kalu orang cape mah bisa tidur dimana aja tanpa perlu mikir bantal, guling......,” aku mencoba berargumen.
Nggak mempan! Bunda tetap aja menjejalkan guling ke carrier-ku.
”Salah kamu sih pengen kos! Emang kenapa seh kamu gak mau tinggal di rumah Tante Dewi aja?” tanya Bang Doni di depan pinu kamarku. Pasti seneng benget ngeliat aku beradu argumen dengan Bunda.
”Suka-suka dong! Ikut campur aja!”
semburku,sengit.
”lagian tempat kosku lebih deket ke sekolah. Jadi gak makan ongkos!” lanjutku sambil mencoba menarik keluar guling dari carrier. Mumpung bunda lagi keluar dari kamarku.
Bang Doni nggak menanggapi kata-kataku. Matanya memandang ke arah dapur. Sebuah senyum geli tiba-tiba menghiasi mukanya. Aku jadi penasaran! Ada ap ya?
Akhirnya, lima menit kemudian arti senyum Bang Doni aku ketahui. Bunda masuk lagi kedalam kamarku. Bunda membawa.........SETENGAH LUSIN PIRING, MANGKOK, SENDOK...... Aaaakh!!!
”Bawa ini. Biar kalo teman-teman gilang mapir ke kos nggak perlu bingung-bingung nyari wadah makanan,” bilang bunda, santai.
”Tapi Bunda.....”
”NGGAK ADA TAPI-TAPIAN! BAWA AJA!!!”
nada suara Bunda meninggi.
”Aduuuuh.... Bunda! Nggak usah deh.... Naik kereta Jakarta-Bandungtuh jalanya goyang-goyang melulu. Nanati kalo pada pecah di tengah jalan, gimana?” aku tetap harus menolak.
Abis , masak aku harus bawa barang-barang nggak penting kaya gini?! Baju, perlengkapan mandi, dan buku-buku aja udah bikin carrier-ku hampir gak bisa di tututp. Belum kue titipan untuk Tante Dewi, septu sekolah baru pemberian Bang Doni....
Lagi pula, bantal, guling, selimut, seprai, piring, gelas, dan sendok, udah tersedia lengkap di kosan yang akan kutinggali. Kalo pake acara tambahan dari rumah, buat apa? Meski bunda berkali-kali biang, ”suatu saat pasti itu ada gunanya,”, aku merasa buang-buang waktu dan tenaga membawanya ke Bandung. Aku nggak mau!


Muka Bunda terlihat muram. Tapi, aku berusa gak perduli. Tekadku udah bulat. Aku mau lepas dari bunda!
Ya, umurku memang masih 17 tahun. Di kelas baru yang akanku tempati di Bandung pun aku tergolong yang palingmuda. Di tempat kos yang akan kutinggali begitu juga. Aku adalah anak kos yang paling muda.
Fuiiiiiih! Aku memang selalu jadi anak bawang dimana saja. Di rumah, di sekolah.... Dan, aku benci akan hal itu! So, kalo kali ini aku tetap menuruti kata-kata bunda untuk membawa semua perlengkapan yang telah disiapkannya,kapan lagi aku punya waktu untuk membuktikan bahwa aku bisa mandiri?!
”Udahl, Bunda. Biarin aja! Biar si Gilang tau kalu di terlalu cepat 100 tahun utuk mencoba lepas dari dekapan bundanya tercinta,” Bang Doni angkat bicara.
Entah apa maksudnya. Menyindirku atau memanas-manasi Bunda?
”Hus! Jangan bilang begitu, Doni.... Bagus kalu gilang mau mandiri,” tetap membelaku. Tangannya masih aja cari celah-celah kosong di carrier-ku untuk menjejali piring, mangkok, dan sendok
”Rasain lo! Hehehehehe....,” tawa kemenangan ku pecah.
”Mending aku mau mandiri. Dari pada Bang Doni, udah gede masih aja deket-deket Bunda!”
”SIALAAAN!!! Gue masih diam dirumah ini karena kasian sama Bunda! Udah tua masih aja ngebiayain sekolah lo! Makanya punya inisiatif buat nyari duit sendiri dong, biar ga nyusain bunda terus!” seperti biasa amarah Bang Doni gampang tersulut.
Aku mencoba diam. Nggak mau bikin keributan dengan Bang Doni tambah parah. Pusinglah.... Jadi lebih banyak pikiran nanti! Lha, ini aja mikirin Bunda belum....
Hah? Kemana lagi Bunda? Apalagi nih yang di ambilnya?
Aku bergegas mengeluarkan piring, mangkok, dan sendok yang udah berhasil Bunda masukan dalam carrier. Buru-buru aku menutup carrier-ku sebelum Bunda datang membawa barang -barang yang lain.
Barang-barang yang lain? Yap. Dugaan ku gak meleset! Bunda udah nongol lagi di pintu kamarku sambil membawa lap meja, tempat bumbu lengkap dengan isinya, cairan pencuci piring, deterjen, dll. Tapi saat dia melihat piring , mangkok, dan sendok yang tadi udah dimasukannya udah aku keluarkan lagi.,secepat kilat dia membalikan badan. ’Duh, Bunda ngambek kali ya?
Ah, cuek! Sekarang mending aku ngurus soal perduitan yang mau dibawa!
Tiba-tiba....
”Gilang,” suara Bunda terdengar dari balik punggunggu.
Aku menoleh, sekarang Bunda menenteng tas kecil yang biasanya selalu dibawanya kalo berkunjung ke rumah Tante Dewi.
”Apa itu, Bunda?” tanyaku heran
”Didalam tas ini Bunda sudah siapin piring, mangkok, sendok, lap meja, tempat bumbu lengkap dengan isisnya, cairan pencuci piring, deterjen, dan lain-lain. Sabun sama odol untuk persiapan sebulan juga udah ada.” Bunda menerangkan sambil menyerahkan tas itu padaku.
”Hahahahaha.... Hahahaha....,” gantian Bang Doni tertawa penuh dengan kemenangan.
Cukup!!! Aku buru-buru menyambar jaket dan carrier-ku. Aku mrnyrnggol tubuh bunda yang ringkih. Bang Doni menyingkir. Mukanya menyiratkan sejuta tanda tanya. Bunda mengikuti ku dari belakang. Sebelum melangkah keluar rumah, aku balikan badan dan menatap tajam ke arah Bunda.
”JANGAN PIKIR GILANG MAU BAWA SEMUA ITU!!! GILANG BUKAN ANAK KECIL LAGI!!! GILANG BENCI BUNDA!!!”
”Gilang....” nada suara Bunda terdengar sedih dan kecewa.


”Bodohkah aku?” pertanyaan ini selalu terngiang di telingaku dari rumah menuju Bandung yang penuh adegan ketegangan tempo hari.
Seperti ada chemistry, di saat aku sedang merenungkan kejadian itu, mendadak sebuah SMS masuk.
< Bunda nggak tau mau gilang apa. Tapi Bundanggak bisa tidur mikirin gilang sedang benci Bunda>
Akh! Nggaaak.... aku nggak benci Bunda! Aku Cuma mau dianggap bisa mengurs diri sendiri. Aku mau mandiri!
Malam harinya Bang doni menelponku.
“Abang heran, kamu yang anak emas Bunda kok tega-teganya bikin bunda sedih begitu?!” sembur Bang Doni.
”Abis....,” aku mencoba mencari kata-kata untuk membela diri.
”Abis apa? ABIS APA, HEH?” suara Bang Doni Meninggi.
”Abang tau kamu bisa mengurus diri sendiri. Abang tau kamu udah gede. Tapi segede apapun sekarang, kamu tetap anak Bunda!! Cuma kita berdua yang Bunda punya. Hubungan ibu dan anak itu nggak mungkin ada kata putus! Beda antara ayah dengan Bunda yang bisa....,” suara Bang Doni tiba-tiba tercekat. Seketika dia menghntikan ceramahnya. Ada nada menyesal dalam kalimat selanjutnya.
”Pokoknya Abang nggak mau tau. Besok kamu harus udah baikan sama Bunda. Titik!” terikanya sebelum mematikan telponnya.
Rasa menyesal kini gantian menyusupi hatiku. Saat Bang Doni mematikan telponnya, jempol tangan kanan ku langsung gatel. Pengen banget rasanya menelpon Bunda. Tapi, gengsiku lebih besar. Kuurungkan niat itu, menungguhingga menelpon duluan yang menghubungiku.


Seminggu berlalu sejak percakapan dengan Bang Doni di telepon. Seminggu pula aku menahan diri untuk tidak menelpon Bunda duluan. Artinya, seminggu pula aku mengabaikan permintan Bang Doni. Sampe suatu pagi sebelum aku berangkat sekolah, Bang Doni mengirim sebuah SMS.
(cepet pulang kerumah! Jatung Bunda kumat lagi!
Namun pikiranku malah melayang. Aku nggak percaya! Pasti ini akal-akalan Bang Doni agar aku mau menemui Bunda dan meminta maaf. Aku cuek....
Siangnya sepulang sekolah, Bang Doni menelpon.
“kamu ada dimana? Emang naik apa sih? Naik bus ya? Emang macet gitu jalannya? Jam segini kok belum nyampe?! Bunda bilang pengen ketemu kamu,” serentetan kata keluar dari mulutnya Bang Doni.
Aku sedikit terhenyak. Tapi, rasa ragu masih terus menggelayuti....
Setelah lama menimbang-nimbang, akhirnya aku putuskan menuruti kata-kata Banag Doni: pulang ke Jakarta menemui Bunda. Kucoba menghubungi telepon rumah Tante Dewi untuk memberitahukan kabar Bunda sakit. Sayang, nggak ada yang angkat!
Aku berangkat ke Jakarta nai bus. Entah kenapa sepanjang perjalan aku tertawa geli. Aku membayangkan yang pura-pura sakit, tertawa melihat ekspresi kukaku yang khawatir.
Senyum geli itu terus mengikuti sampe di terminal bis Kampung Rambutan. Turun dari bus, aku memberhentikan taxi. Baru kuhempas pantat ini di bangku belakang taxi yang ku tumpangi, ponselku berbunyi. Tante Dewi?! Kuangkat. Tapi, belum lagi aku berkata, ”Hallo!”, suara isak Tante Dewi udah terdengar.
”Gilang nggak usah kerunah sakit. Langsung kerumah aja. Masih di Kampung Rambutan kan? Lebih cepat ke rumah jalannya. Kak Mira dimandikan di rumah kok,” bialng Tante Dewi pelan.
”DIMANDIKAN??? DI RUMAH???” aku teriak.
Aku langsung mengerti arti kata-kata Tante Dewi. Pikiranku sontak kosong selama beberapa detik. Kemudian, air mata mengalir begitu deras tanpa bisa kutahan. Namun, nggak ada suara isak yang keluar dari mulutku. Sebab, aku terlalu sibuk memikirkan hal yang lebih penting dai pada sekedar terisak. Ya. Sampe akhir hayatnya Bundamasih berpikir aku membencinya.
0 comments:

Post a Comment

Follow Gilang_UT on Twitter
Instagram

...::: I'm Cloudy :::...

If you dont like me...its not my problem, its YOURS.

We dont love the people we love because they're perfect, we love the people we love because THEY ARE

Happiness will never come to those who fail to appreciate what they already have

Whether you think that you can, or that you can't, you are usually right

Be nice to people on your way up because you meet them on your way down