Mak Ijah tekejut melihat kemunculan Paijo dengan dandanannya yang aduhai. Celana panjang putih bergaris-garis hitam dengan saku berhiasan paku-paku, mur, baut…?
Kemeja hitam, topi pet putih, juga sepatu booth putih.
Mata tuanya yang mulai labor berkolaborasi dengan bibir keriputnya yang membentuk huruf O gede, Mak Ijah mengamati Paijo dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tangannya sontak mengelus dada… “Alamaaak!” batin Maj Ijah menjerit kencang. “ Kenpa ada rantai anjing melilit leher anakku, heh?!”
“ PAIJOOOO… Apa-apaakai berdandan seperti Elvis Presley! Ku tau, semasa gadis, emak memang sangat mengidolakan laki-laki tampan itu. Tapi… Aaaakkhhh!!! Kau sungguh tak pntas mmngikuti caranya berdandan?!” Mak Ijah mere pet sambil melotot hingga biji matanya seperti mau keluar.
“ Kau…, Kau…, Masya Allah!! Baru beberapa bulan di Jakarta pun udah senget,” Mak Ijah makin histeris. Paijo terkekeh melihat ibu yang di cintainya lahir-batin marah-maranh. Sambil memamerkan giginya yang nggak bias menutup rapat Paijo berkata, “ Mami…, mami… kalo ketemu anak tuh sun dulu. Begitu tatacaranya.“
Tanpa menuggu reaksi Mak Ijah, Paijo langsung nyosor, memonyongkan bibirnya semaksimal mungkin dan mengecup pipi kana-kiri Mak Ijah.
“ PAIJOOO…, Apa-apan kau??? Aku ini Mak Kau!!!“
Mak Ijah benar-benar nggak than ngeliat kelakuan Paijo. Diambilnya sepotong kalu bakar be diameter paling gede yang semula hendak diangkutnya ke dapur untuk dipake menanak nasi. Dan…, Klepak! Klepuk! Kayu itu berkali-kali mendarat di paha Paijo.
“ Kau jangan macam-macam ya! Kau in besar karena dikasih ikan asin dan kangkung. Tak pantas kau memanggil emak dengan sebutan mami!!!!”
“ Aduh…, aduh…, Auw!! Mami jangan gitu dong…, Apa kata para artis teman gue kalo ngeliat gue masih di pukulin sama nyokapnya?!”
“ Apa kau bilang? Artis mana yang nengok kau, Paijo???” Mak Ijah masih menghardik.
Jengkel sekali perasaannya. Selama ini, kalo dirumah Paijo selalu membuat ulah. Itu sebabnya ketika paman Paijo berinisiatif membawanya ke Jakarta, Mak Ijah langsung sujud syukur.
“ Fuiiiih! Paijo…, Paijo…
Sebernanya anak ini rajin dan taat beribadah. Tapi, kelakuannya yang… Yaaah, begitu lah! Badan ceking, gigi super tonggos, muka penyok… Paijo yang sadari kecil diberi gelar giman (gigi mancung) oleh teman-teman juga tetangga-tetangganya tetap cuek dan pede. Malah, gelar giman udah di anggapnya sebagai bagian dari nama panjangnya: Paijo Giman.
- - - - -
Balik ke urusan Mak Ijah. Kalo emaknya bertempramental keras dan kasar, sikapnya abanya sangat contradictive. Abah Paijo sanagt arif dan bijaksana, sehingga disegani sebagai tokoh masyarakat.
“ Paijo, ke sini, nak. Kenapa kau tak beri kabar kalo mau pulang?” Pak Usman -gitu nama abah Paijo-
Menjulurkan kepala lewat jendela saat mendengar ribut-ribut di luar rumah.
“ Papi? Aduh, maf banget. Gue sibuk syuting tanggak siiih…??? Nah, karena sekarang pelemnya udah selesai digarap, makanya gue nyempetin deh mudik. Eh, nggak taunya mami payah! Mami masih aja nganggep Paijo sebagai anak udik,” bagai onta nemu oase, Paijo langsung curhat abis-abisan pada Pak Usman.
“ Hah? Papi?” Pak Usman garuk-garuk kepala
Nggak mau bikin keributan jilid dua, PakUsman berusaha menahan diri.
“ Naiklah ke sini, ceritakan pada abah kenapa kau jadi begini perlente. Kau benar-benar bikin abah pangling. “ Ck…, ck…, ck…”
Entah apa maksud perkataan Pak Usman terse but. Apakah dia benar-benar kagum dengan perubahan yang terjadi pada anak laki-laki slangy, atau hanya ingin menyenangkan hati anaknya yang baru pulang dari perantauan. Hanya dia dan tuhan yang tau jawabanya!
“ Baiklah Papi! Ceritanya…,” paijo megabit posisi pewe begitu udah duduk di depan pak Usman.
“ Panggil abah lah. Seperti biasa kau panggil aku dulu! Lebih enak rasanya di kupingku,” sela Pak Usman yangjuga mulai kegerahan seperti Mak Ijah.
“ Oke, no problem! Jadi gini, waktu nyampe Jakarta paman nyuruh gue ikut kasting di rumah produksi milik temannya. Terus nggak disangka gue keterima main pelem. Nggak tanggung-tanggung langsung dapet peran utama!” Paijo nyerocos penuh semangat.
“Hah??? Yang benar kau??? Akh, jangan banyak mengkhayal, nak. Tak baik! Nanati kau ditertawakan orang,” Pak Usman mulai khawatir dengan kesehatan mental anaknya.
Sementara itu, Mak Ijah rupanya udah naik kerumah panggung mereka. Di aberkata tepat di blekang Paijo, dan memberikan isyarat telunjuk yang dilintangkan ke atas kening. Mak Ijah mendesis, “ Anak kita kurang waras nampaknya.”
Untung Paijo nggak mendengar! Dia masih siuk dengan ceritanya pada abah tersayang.
“ Kalo nggak percaya, lihat nih foto-foto gue waktu syuting,” Paijo mengeluarkan sebuah album foto kecil.
Pak Usman dan Mak Ijah mengamati. Terlihat banyak pose anaknya bersama perempuan-perempuan cantik dan laki-laki ganteng teman anaknya tersebut berdandan sangat kota. Cume, nggak norak kayak anaknya!
“Mereka siapa? Abah tak kenal… Hey Nina, ayo kesini. Tengok abang kau pulang,” Pak Usman sontak memanggil anak bungsunya. Ketika melihat sekelabat batang hidung cewek yang mukanya jauh lebih lumayan entombing Paijo.
Nina mendekat. Kemudian, dalam hitungan detik menghambur ke dalam pelukan Paijo. Ya, humbugging abang-adek ini memang sangat dekat. Meski teman-temen dan tetangga-tetangganya sering meledek abangnya, di mata Nina, Paijo tetap seorang abang yang baik. Sekaligus, laki-laki yang bertanggung jawab.
“Lho? Foto siapa ini?” Nina Mengambil album foto dari tangan abah dan emak.
“Lho… Lho… Inikan Dian Sastro? Marcella Zaelanty? Trus, Tora Sudiro? Kok abang Paijo bias foto bareng mereka? Mereka kan bintang film papan atas!” Nina tebengong-bengong ngeliat foto banana.
“Apa kalo kita ke Jakarta pasti bias foto bareng mereka?“ Nina makin penasaran.
“Tuh kan… Papi-mami gak percaya sih! Nina aja ngenalin mereka,” Paijo menoleh ke arah Pak Usman dan emak ijah dengan tampang jumawa.
“Abang sekarang udah jadi bintang pelem,’Nin,’ Paijo berujar bangga.
- - - - -
Dalam waktu singkat, berita Paijo jadi bintang film tersiar ke seluruh pelasok kampung. Bahkan, teman-teman sekolah Nina heboh membicarakannya. Awalnya, banyak orang yang ngeliat foto-foto Paijo di lokasi syuting bareng bintang film-bintang film beken, mereka yakin dengan kebenaran berita itu. Makanya, album foto kecil milik Paijo ini mulai lecek karena di bawa bergantian oleh Nina, Mak Ijah, dan Pak Usman. Akhirnya, Mak Ijah dan Pak Usman begitu bangga dengan status baru Paijo…
Perubahan lain pun terasa. Sekarang nggak ada lagi yang memanggil Paijo Giman karena Mak Ijah udah mengadakan selametan. Seekor kambing dipotong untuk acara kenduri ganti nama! Yoi, sebagai bintang nama Paijo di anggap udah nggak cocok. Para pemuda dan pemudi turun rembuk menceritakan nama yang tepat buat Paijo. Dan, pilihan jatuh pada nama Galang Pramuja. Keren dan mantap!
Bukan cuma urusan nama yang berubah. Sikon di runah Paijo juga berbah. Rumah yang biasanya sunyi berubah selalu rame didatangi orang. Terutama, cewek-cewek! Hehehe…
Paijo…, eh, Galang cengar-cengir membubuhkan tantada tangannya yang di ukir seperti petiryan menyambar pada buku-buku notes cewek-cewek nan lucu dan imut itu.
Di lini lain, Mak Ijah dan Pak Usman (entah dapet bisikan dari mana), nggak bosen-bosen menasehati Galang, “kau harus jaga imej sebagai bintang!”
Maka, dengan oertimbangan jaga imej itu juga Galang Pramuja dilarang keras lalap pete dan rendang jengkol kesukaannya. Mak Ijah dan Pak Usman rela mengorbankan ayam peliharaannya atau ikan gurame dari kolam RT buat santapan anaknya yang sekarang jadi bintang.
Selain, larangan malan lalap pete dan rending jengkol, Galang Pramuja pun nggak diizinkan mandi di kali bersama teman-temanya.
“Panas matahari dan kali nggak baik untuk kesehatan kulitmu,” Mak Ijah menjelaskan.
- - - - -
Jarak antara kampung Galang Pramuja dengan kota kira-kira 60km. Bioskop hanya ada di kota. Dan, hari ini film yang Bermuda, Maafkan Papi, Anakku, dimana Galang katanya nongol sebagai pemeran utama, akan di putar perdana.
Keterlibatan Galang yang berlatar belakang pemuda kampung udah kayak promosi lisan dan film terse but. Nggak heran kalo pneumonia ngantri luar biasa.
Sebagai pemilik bioskap, Aseng tersenyum puas. Tiket sold out adalah sesuatu yang jarring terjadi akhir-akhir ini di bioscopy. Lembaran-lembaran brwarna merah sontak menari-menari di depan matanya!
Kemudian….
Eng… ing… eng… film perdana Galang Pramuja diputar! Memasuki bioskop tampak leher Galang di kalungi untaian bunga. Galang imbibing measuring VIP room oleh bebrapa orang berbadan tegap mirip centeng. Mak Ijah, Pak Usman, dan Nina manicotti dari belakang. Tampang mereka berubah sumringah, nggak mampu menyembunyikan rada bangga.
Film dimulai. Dalam adegan awal Galang undah muncul. Di layar tampak Galang terabit-cabik dimakan harimau. Sedangkan seorang laki-laki yan gmenjadi (tokoh papi), hanya bias berdiri lunglai. Nggak kuasa menekan laras senjata berburunya untuk menyelamatkan anaknya.
Film ini banyak moneyman misi psikologis. Seorang ayah yang sedikit derange jiwanya karena dikaruniai anak idiot. Pada setiap kesempatan berburu, dia selalu mengajak anaknya yang idiot itu sejak masih kecil. Kenapa? Karena jauh dilubuk hatinya, sang ayah sebenarnya menginginkan agar anaknya tewas dalam perjuring. Dan, keinginannya terkabul!! Namun, anaknya baru mrninggal diterkam harimau setelah dewasa.
Saat di layar muncul tulisan “TAMAT”, penonton kecewa. Nggak sepeti bayangan mereka, Galang hanya nongol pada adegan awal. Padahal Galang kan udah mengklaim dirinya,biasanya bakal nongol terus sampe filmnya abis.
Galang dengan tukas memberi alasan, “kalo nggak ada adegan anak yang mati di terkam harimau, apa mungkin jalinan ceritanya akin menarik?”
Post a Comment